Kalender Jawa merupakan sistem penanggalan tradisional yang digunakan oleh masyarakat Jawa sejak masa kerajaan-kerajaan kuno.
Kalender ini unik karena memadukan tiga unsur utama: penanggalan Saka (Hindu), Hijriah (Islam), dan sistem perhitungan waktu tradisi Jawa sendiri.
Kalender ini diciptakan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Kesultanan Mataram pada tahun 1633 Masehi.
Tujuannya adalah untuk menyatukan berbagai sistem penanggalan yang ada saat itu, agar masyarakat Jawa memiliki satu acuan waktu yang sesuai dengan tradisi sekaligus ajaran Islam yang sedang berkembang.
Struktur Kalender Jawa
Kalender Jawa memiliki dua siklus utama:
1. Siklus Wetonan
Siklus ini menggabungkan tujuh hari dalam seminggu (Senin hingga Minggu) dengan lima hari pasaran Jawa (Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon). Kombinasi keduanya menghasilkan 35 hari dalam satu siklus weton.
Weton sering digunakan masyarakat untuk menentukan hari baik dalam berbagai kegiatan seperti pernikahan, pindahan rumah, atau memulai usaha.
2. Siklus Tahun dan Bulan
Kalender Jawa menggunakan sistem lunar (bulan) seperti kalender Hijriah. Satu tahun terdiri dari 12 bulan, di antaranya: Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkangidah, dan Besar.
Tahun Jawa juga memiliki nama yang berulang setiap delapan tahun, disebut windu.
Fungsi dan Makna Sosial
Kalender Jawa bukan sekadar alat penentu tanggal. Ia memiliki makna sosial dan spiritual yang kuat bagi masyarakat Jawa.
Perhitungan weton misalnya, sering dijadikan dasar untuk menilai kecocokan jodoh, menentukan hari baik, hingga memahami karakter seseorang.
Selain itu, kalender Jawa juga menjadi acuan dalam upacara adat dan keagamaan seperti Grebeg Suro, Sekaten, dan berbagai ritual masyarakat pedesaan yang masih lestari hingga kini.
Kalender Jawa di Era Modern
Meskipun saat ini kalender Masehi lebih dominan digunakan dalam kehidupan sehari-hari, kalender Jawa tetap hidup di tengah masyarakat sebagai warisan budaya.
Banyak aplikasi dan kalender digital kini sudah menyertakan penanggalan Jawa, menandakan bahwa nilai tradisi tersebut tetap relevan di era modern. (*)
